Sarimbit

Sarimbit

Rabu, 02 Juni 2010

PNFI, Antara Idealisme dan Realita

Tidak selamanya orang yang disalahkan akan berdampak buruk. Akibat disalahkan maka lahirlah artikel ini di tahun 2006

PNFI, ANTARA IDEALISME Vs REALITA
Oleh : Achmad Taufik

Pendidikan secara umum merupakan suatu faktor yang strategis dan menentukan dalam perjalanan pembangunan suatu bangsa. Banyak bangsa di dunia, yang menjadi maju maupun yang terbelakang, adalah akibat dari faktor, kondisi dan keadaan pembangunan di bidang pendidikan yang mereka terapkan, sehingga dapat berpengaruh pada kemajuan peradaban masyarakatnya. Semakin tinggi tingkat pendidikan suatu negara, maka semakin maju dan makmur tingkat kehidupan masyarakatnya. Korelasi ini semakin nyata manakala kita melihat perkembangan pendidikan di Indonesia dewasa ini.
Pada era tahun 1970-1980, perkembangan sistem pendidikan di Indonesia dapat dikatakan maju pesat. Indikasi ini terlihat dari seringnya mahasiswa dari negara tetangga yang menimba ilmu di berbagai Universitas Negeri di Indonesia. Sebagai contoh banyak mahasiswa Malaysia atau Singapura yang menimba ilmu di UI, IPB, UGM, ITB dan lain – lainnya. Akan tetapi pada perkembangan 20 tahun kemudian, sedikit sekali mahasiswa luar negeri yang belajar di Indonesia. Hal ini menunjukkan mutu pendidikan di Indonesia sudah tertinggal dari negara lain, termasuk negara tetangga kita Malaysia dan Singapura. Kondisi ini diperparah lagi dengan pelajar kita yang dari kelompok masyarakat mampu / kaya menuntut ilmu di Singapura, Malaysia, Australia dan USA, sehingga secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi ekonomi negara kita, karena devisa atau aliran dana banyak yang terkuras ke luar negeri. Mereka memang tidak bisa disalahkan begitu saja, karena mereka memiliki hak, kemampuan finansial dan kemampuan intelegensi. Ini adalah realita dan tantangan yang sedang dihadapi oleh negara Indonesia di bidang pendidikan.
Menurut Undang Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003, pasal 13, bahwa jenis Pendidikan di Indonesia meliputi, yaitu Pendidikan Formal, Pendidikan Non Formal dan Pendidikan Informal. Pendidikan Non Formal ( PNF ) merupakan bidang garapan dari Pamong Belajar, Penilik Dikmas maupun TLD, dimana banyak sekali diantaranya berupa proyek – proyek pendidikan yang berjalan atas dasar situasional dan kondisional dari kebutuhan masyarakat / warga belajar terhadap program – program yang ditawarkan.
Pada pelaksanaan dan penyelenggaraan program – program Pendidikan Non Formal ( PNF ), terkadang tidak disertai dengan  petunjuk teknis dan petunjuk pelaksana. Kalaupun ada Juklak maupun Juknis, maka di era otonomi daerah ini seolah – olah Juknis dan Juklak tersebut hanya sebagai pajangan, sehingga orientasi program dijabarkan sesuai dengan keinginan penentu kebijakan yang bertumpu pada kepentingan sesaat dan jangka pendek saja. Padalah bila kita menyimak secara arif dan bijaksana, maka program Pendidikan Non Formal yang dibiayai berupa proyek – proyek itu, haruslah berkelanjutan dan berkesinambungan secara simultan, sehingga diharapkan akan terjadi pengentasan terhadap taraf hidup warga belajar / masyarakat yang dibina, agar  menuju ke arah kehidupan yang lebih baik.
Pelaku Pendidikan Non Formal seperti Pamong Belajar, Penilik Dikmas, TLD merupakan ujung tombak dan pelaksana di lapangan. Mereka seringkali dihadapkan pada dilema - dilema  dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Bahkan kerapkali terjadi pertentangan antara idealisme yang akan dibangun dengan realita yang terjadi di lapangan. Di satu sisi mereka diberi amanah untuk mengentaskan dan memberdayakan masyarakat miskin serta terbelakang pendidikannya, akan tetapi pada sisi lain mereka dihadapkan pada sistem dan pola kerja yang bertentangan dengan hati nurani mereka. Keadaan ini menjadikan pelaku Pendidikan Non Formal terpaksa “memilih jalan aman” demi kelangsungan kariernya. Hal ini berjalan terus menerus, seolah sudah menjadi sebuah lingkaran setan yang tidak dapat diputuskan dan diluruskan kembali sesuai jati diri dari Pendidikan Non Formal ( PNF )
Keadaan dan kondisi yang demikian ini, tidak terlepas dari salah satu faktor pemicunya yaitu sistem pengorganisasian yang dibangun dan diterapkan masih jauh dari konsep idealisme berorganisasi. Sebagai salah satu pelaku Pendidikan Non Formal, maka Pamong Belajar haruslah dapat bercermin, berintrospeksi dan mawas diri terhadap segala kemungkinan yang akan timbul dari sistem serta pola kerja yang sedang berlangsung. Kita jangan sampai terpesona dan terbuai dengan kondisi yang ada, sehingga kita lupa bahkan tidak tahu perubahan apa yang akan terjadi di kemudian hari.
         A. Konsep Pengorganisasian Yang Ideal
Pengertian Organisasi secara harfiah adalah sebagai suatu lembaga atau kelompok fungsional. Bila ditinjau dari prosesnya, maka pengorganisasian adalah proses pekerjaan yang diatur dan dialokasikan di antara para anggota, sehingga tujuan organisasi itu dapat tercapai secara efektif. Sedangkan organisasi itu sendiri diartikan sebagai kumpulan orang dengan sistem kerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Menurut Chester I. Barnard (Fattah N, 2001) bahwa dalam berorganisasi mengandung tiga elemen, yaitu :
1.   Adanya kemampuan untuk bekerjasama.
2.   Adanya tujuan yang ingin dicapai bersama.
3.   Adanya komunikasi antar anggota.
Selanjutnya, menurut pendapat Fattah N (2001), bahwa dalam menjalankan roda organisasi perlu adanya konsep pengorganisasian yang bertumpu pada beberapa aspek yang harus dibangun secara bersama dan berkesinambungan, antara lain meliputi :
A.      Adanya proses pengorganisasian.
Proses pengorganisasian ini mengikuti daur / alur berupa siklus yang meliputi :
perincian pekerjaan          

pembagian pekerjaan         

penyatuan pekerjaan       

koordinasi pekerjaan          
                          
                       monitoring dan reorganisasi
B.      Adanya struktur organisasi
Struktur organisasi merupakan pola hubungan kerja yang memiliki beberapa bagian dengan fungsi yang berbeda-beda, menyangkut penentuan pekerjaan, pembagian kerja dan penetapan mekanisme untuk mengkoordinasikan seluruh kegiatan.
C.     Adanya wewenang dan kekuasaan
Wewenang merupakan hak kelembagaan yang diberikan pada seseorang / kelompok untuk mengunakan kekuasaan yang didasarkan pada pengakuan keabsahan upaya untuk mempengaruhi.
Sedangkan kekuasaan dalam arti yang sebenarnya adalah kekuatan untuk mengendalikan orang lain, sehingga orang tersebut sama sekali tidak punya pilihan. Kekuasaan umumnya diperoleh dari tingkatan seseorang dalam hierarki organisasi serta bersumber dari berbagai macam jenis psikologi kekuasaan.
D.     Adanya pendelegasian wewenang
Pendelegasian didefinisikan sebagai pelimpahan wewenang formal dan tanggung jawab kepada seseorang atas pelaksanaan aktivitas tertentu, yang ditunjang oleh unsur motivasi, persaratan khusus serta komunikasi yang baik, dengan tujuan agar organisasi dapat menggunakan sumber dayanya secara efisien.
E.      Adanya Hubungan dalam Organisasi
Maksudnya adalah terdapat kaitan antara tanggungjawab, wewenang dan pelaporan / akuntabilitas. Akuntabilitas adalah keharusan mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas yang mengacu pada sasaran yang ingin dicapai oleh organisasi
F.      Adanya Efektifitas Kelompok.
Dalam suatu organisasi tidak dapat dipungkiri akan timbul kelompok – kelompok yang didasarkan atas kesamaan / alasan : kebutuhan, ekonomi, ide / tujuan, kedekatan dan daya tarik. Yang terpenting dalam hal ini adalah kelompok – kelompok tersebut dapat efektif dan berdayaguna untuk mempermudah pencapaian tujuan organisasi.
         B. Komitmen Idealisme Dalam Berorganisasi.
Dalam mengelola suatu lembaga / organisasi, maka tidak dapat dipisahkan dari unsur – unsur sumber daya manusia (SDM), sarana prasarana, finansial, sistem serta pola kerja yang diterapkan untuk menjalankan roda organisasi. Pendekatan sosial atau kemanusiaan saja belum cukup, harus ditunjang dengan suatu bentuk komitmen kelembagaan dan penghargaan sesuai dengan kapasitas pekerjaan yang dibebankan pada karyawan. Seseorang akan merasa memiliki (handarbeni) pada suatu lembaga / organisasi, jika ia telah mendapatkan kepuasan batin dari hasil pekerjaan yang diembannya, dan tidak hanya puas secara materiil saja.
Membangun suatu komitmen dalam berorganisasi tidaklah mudah seperti membalikan telapak tangan. Diperlukan suatu ketetapan hati / niat, kesepahaman persepsi dan kebersamaan yang bulat serta utuh, baik dari penentu kebijakan maupun karyawan, sehingga akan tercapai tujuan lembaga / organisasi yang sesuai dengan visi dan misi yang diembannya.
Menurut Waspodo M (2003), secara ideal manfaat ( dampak ) komitmen berorganisasi antara lain : 
a.       menjadikan suatu organisasi tetap eksis / survive (survival learning)
b.       menjadikan organisasi selalu kreatif dalam mencari terobosan – terobosan baru (generative learning).
c.       memberikan iklim kerja yang kondusif dan meningkatkan gairah kerja.
d.       meningkatkan motivasi pengapdian karyawan terhadap organisasi
Komitmen yang dijadikan landasan berorganisasi dapat bersumber dari kesepakatan bersama maupun dari peraturan – peraturan lembaga / organisasi yang telah ditentukan, sehingga memiliki dampak yang positif serta mengikat pada semua pihak, baik pimpinan maupun karyawan.
Menurut Hodge dan Anthony (Waspodo M, 2003), bahwa terdapat tiga elemen yang membentuk komitmen berorganisasi, yaitu :
1.       Satisfaction          : pegawai merasa puas dalam melaksanakan tugas – tugasnya.
2.       Identification         : dapat menyesuaikan diri dengan organisasi (yang bersifat positif).
3.   Involvement          : merasa terlibat dalam pengambilan keputusan suatu kegiatan  organisasi.
            Adanya tiga elemen dasar tersebut akan berdampak pada keuntungan organisasi, dimana akan berkurangnya pergantian pegawai, meningkatkan produktifitas kerja, meningkatkan kepuasan kerja, meningkatkan harga diri pegawai dan mengurangi gejolak pegawai. Masih menurut Hodge dan Anthony, apabila tidak terjadi komitmen dalam berorganisasi maka dapat menyebabkan terjadinya psychological withdrawal (misalnya melamun pada waktu bekerja) dan physical withdrawal (misalnya sering terlambat, bekerja lambat dan absensi tidak tertib).
         C. Kondisi Riil Pendidikan Non Formal.
Dalam berbagai kasus yang terjadi di lingkungan Pendidikan Non Formal secara umum, sering terjadi kebijakan – kebijakan yang sifatnya tumpang tindih, tidak konsisten serta tergesa – gesa. Ini semua bermuara pada keadaan, dimana belum terciptanya komitmen yang ideal, yaitu efektif, efisien, produktif, terarah dan konsisten dalam berorganisasi.
Menurut pandangan penulis, maka secara umum ada beberapa realita dari kasus - kasus yang sering terjadi dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan Pendidikan Non Formal, yaitu :
1.      Sering Terjadi Penyimpangan Proyek Pendidikan Non Formal
Pendanaan Pendidikan Non Formal umumnya berpijak pada proyek – proyek yang diusulkan oleh suatu lembaga melalui bentuk proposal yang terkadang bersifat kompetisi. Keadaan ini mengakibatkan kecenderungan untuk “bermain” dalam proses usulan sampai cairnya dana, yaitu mulai dari penyusunan proposal, pendekatan, lobi, peng-spj-an, pelaksanaan dan penyelengaraannya, sehingga berdampak pada menurunnya kualitas penyelenggaraan Pendidikan Non Formal.
Disamping itu, adanya “tradisi” pemotongan beberapa persen dari dana yang masih utuh, menyebabkan pendanaan program di lapangan tidak dapat maksimal, sehingga berdampak pada jalannya program hanya sekedar terlaksana saja, yang pada akhirnya “kualitas out put” dari program itu tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dilain pihak, setelah proses pendanaan selesai, maka selesailah suatu program dan ada kalanya program – program yang diusulkan fiktif belaka, sehingga mengakibatkan kaburnya tahap tindak lanjut dari program tersebut.
2.      Belum adanya perencanaan program yang Baku dan Terarah dari tingkat pusat maupun lembaga di bawahnya.
Program yang efektif, efisien, produktif, terencana serta konsisten merupakan landasan suatu operasional / pelaksanaan yang baik dan terukur dari suatu organisasi. Seringkali pelaku – pelaku Pendidikan Non Formal (baik itu Pamong Belajar, Penilik Dikmas dan TLD) mengalami kesulitan dalam mengimplementasikan secara ideal pada program – program yang akan dilakukannya, karena belum terbentuknya komitmen dalam beroganisasi. Mereka dalam bekerja terlihat kurang totalitas dan professional.
Beberapa penyebab (menurut penulis) yang mengurangi profesional dan totalitas mereka dalam bekerja antara lain :
-  juklak dan juknis yang kurang detail dan terkadang mengarah pada multi penafsiran.
-    tersendat – sendat dan kurang seriusnya proses pendanaan di tingkat lapangan..
-    transport tutor dan pendamping yang kurang memadai / layak.
-    pola kerja yang hanya alakadarnya (asal jalan)
-    konsep kerja yang terburu – buru dan tidak terarah
-    proses identifikasi yang tidak sesuai sasaran.
-    informasi program yang terlambat dan mendadak
-    kurang harmonisnya hubungan antar pelaku pendidikan non formal (PB dan Penilik)
-    kurangnya itikad baik untuk memajukan kualitas pendidikan non formal.
3.      Kalender Pendidikan Non Formal yang kerapkali tidak ada / tidak terkirim.
Dalam pelaksanaan atau penyelenggaraan suatu program pendidikan, umumnya tidak dapat lepas dari rentang waktu / jadwal, yang sering disebut sebagai kalender pendidikan. Terlambatnya kalender pendidikan ini, akan menyebabkan ketimpangan pola kerja dalam mengimplementasikan program – program yang ada, sehingga tidak berjalan secara sinergis dan terarah.
Pada Pendidikan Non Formal, sering terjadi ketidaksingkronan waktu antara cairnya dana dengan saat proses pembelajaran. Sebagai salah satu contoh adalah dana APBN tahun 2003 program Kesetaraan, pencairannya jatuh pada awal Pebruari 2004, akan tetapi penggunaannya untuk tahun ajaran 2003 / 2004 ( Juni 2003 s.d .Juli 2004), sehingga praktis pelaksanaannya hanya berjalan 5 bulan saja. Dengan demikian rentang waktu tersebut akan banyak terjadi “permainan” yang ujung – ujungnya akan menurunkan kualitas dari program – program yang sedang dilaksanakan.
4.      Sistem Otoda yang belum berpihak pada Pendidikan Non Formal.
Terjadinya likwidasi lembaga SKB di beberapa kabupaten (seperti Jember, Pasuruan, dan Kediri) menunjukkan rendahnya komitmen pemerintah daerah setempat terhadap pentingnya Pendidikan Non Formal. Mereka cenderung mengutamakan pembangunan fisik dan ekonomi, akan tetapi mengabaikan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM). Disinilah pentingnya sosialisasi dan penedekatan yang terstruktur secara terus menerus, sehingga akan terbentuk suatu pengertian dan pemahaman tentang arti pentingnya Pendidikan Non Formal bagi peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM).

5.      Rendahnya Kualitas Out Put dari Pendidikan Non Formal.
Secara umum warga belajar paket A, B atau C memang dari kalangan ekonomi lemah dan mereka hanya dibekali oleh ketrampilan tambahan yang sifatnya tidak mengikat. Sebagai pelaku pendidikan non formal, sejujurnya belum pernah kita mendengar adanya warga belajar yang menjuarai even – even di bidang pendidikan atau yang dapat mengangkat dan mengharumkan nama Pendidikan Non Formal, baik ditingkat regional maupun nasional. Hal ini menunjukkan tingkat kualitas warga belajar yang telah menempuh jenjang Pendidikan Non Formal, belum dapat disejajarkan dengan Pendidikan Formal, karena sistem pengelolaan pendanaan yang kurang berpihak pada komitmen program.
6.      Belum memiliki pengawas Pendidikan Non Formal Yang Independen
Terjadinya kasus pemalsuan ijazah paket C di berbagai daerah oleh anggota DPRD, menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap penyelenggaraan program – program Pendidikan Non Formal. Pengawas Pendidikan Non Formal (menurut penulis) dalam hal ini tidak hanya ditujukan pada aspek penyelenggaraan program, akan tetapi meliputi keseluruhan aspek yaitu kelembagaan, keuangan, ketenagaan, kebijakan serta sistem yang diterapkan.
Oleh sebab itu, pentingnya membentuk suatu tim pengawas baik dari pusat maupun propinsi yang bersifat independent dan berasal dari unsur pemerintah serta masyarakat, dimana mereka bertugas secara berkesinambungan dan terus menerus. Dengan demikian akan terbentuk suatu  sistem pelaksanaan serta penyelenggaraan program atau kebijakan yang sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan yang riil dari warga belajar / masyarakat serta mengurangi kasus – kasus pemalsuan ijazah.
7.      Kurangnya Sosialisasi Organisasi Profesi.
Organisasi profesi pelaku Pendidikan Non Formal seperti IPABI, IPI atau Forum TLD belum sepenuhnya dikenal oleh komunitas di luar PNFI. Walaupun telah melaksanakan Konggres Nasional, akan tetapi gaungnya belum menggema seperti PGRI, ABRI, POLRI, IDI, LBH dan lain – lain. Organisasi profesi IPABI yang baru terbentuk misalnya, masih berjuang untuk mengupayakan / mengusulkan perubahan – perubahan pada tataran Permendiknas atau Perpu-nya, agar kepentingan Pamong Belajar secara umum lebih diperhatikan oleh pemerintah.
Harapannya adalah bila produk payung hukum tersebut telah dibakukan, maka akan berimbas positif baik dari sisi personal PB maupun dari sisi institusi SKB. Dengan demikian bargaining position-nya (posisi tawar menawar) yang menyangkut kepentingan dan hajat hidup Pamong Belajar akan diperhitungkan dalam penentuan pengambil kebijakan dan profesinya dapat disejajarkan  dengan profesi lainnya, sehingga akan disegani.
           
         D. Penutup
Dalam pelaksanaan atau penyelenggaraan program - program Pendidikan Non Formal diperlukan suatu komitmen dalam berorganisasi, yang bertumpu pada efektifitas, efisiensi, produktifitas, terarah / fokus dan konsisten. Sehingga diharapkan terbentuknya suatu output yang berkualitas dan sesuai harapan dari hasil proses pembelajaran suatu program.
Namun demikian, dari realita di lapangan dalam proses pelaksanaan serta penyelenggaran program Pendidikan Non Formal masih terdapat kasus - kasus yang timbul dan kerapkali bertentangan dengan hati nurani pelaku Pendidikan Non Formal (PB, Penilik Dikmas, TLD) antara lain meliputi :
                           i.      Sering terjadi penyimpangan Proyek Pendidikan Non Formal
                         ii.      Belum adanya perencanaan program yang baku dan terarah dari tingkat pusat maupun lembaga di bawahnya.
                        iii.      Kalender Pendidikan Non Formal yang kerapkali tidak terkirim / tidak ada.
                       iv.      Sistem Otoda yang belum berpihak pada Pendidikan Non Formal.
                         v.      Rendahnya Kualitas Out put dari Pendidikan Non Formal.
                       vi.      Belum memiliki pengawas Pendidikan Non Formal Yang Independen
                      vii.      Kurangnya Sosialisasi Organisasi Profesi.
            Pemikiran atau konsep komitmen menuju idealisme berorganisasi dalam uraian di atas, tidaklah bermanfaat apabila tidak ditunjang oleh “political will” dari penentu kebijakan (baik pusat maupun daerah) serta dengan perubahan sistem secara bertahap. Kita (pelaku Pendidikan Non Formal) menyadari sepenuhnya sebagai bagian dari birokrasi. Oleh karena itu sudah selayaknya untuk mengikis tradisi yang ada (sistem yang kurang positif), dengan memulai dari yang kecil, mulai dari diri kita sendiri dan mulai saat ini. Kita tidak perlu menunggu terjadinya perubahan yang sangat fundamental.

PROFIL PENULIS


Nama                              : ACHMAD TAUFIK
Jabatan Organ. Profesi   :  Ketua IPABI Kab. Ponorogo
Email                             :  MASGUSFIK@YMAIL.COM


DAFTAR PUSTAKA

Fattah N, DR, 2001, Landasan Managemen Pendidikan, PT. Remaja Posdakarya, Bandung
            Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PT Media Karya, Jakarta.
            Waspodo M, Warta Plus vol. 28 edisi Oktober Nomor 25 Tahun 2003, Dirjen Diklusepa, Departemen Pendidikan Nasional.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar