Minggu, 13 Juni 2010
Kamis, 10 Juni 2010
Tutorial Blog ttg pasang iklan
TUTORIAL BLOG TENTANG PASANG IKLAN BLOG SENDIRI DENGAN GRATIS DAN MENDAPATKAN UANG Rp.277.777.750,-
Thursday, January 1, 2009 Ada yang baru buat pra blogger nihhh.....
pasang iklan blog sendiri di dapat menghasilkan uang Rp. 277.777.750,-... segera daftarkan..... kita hanya mendaftarkan iklan blog kita kemudian cari 10 anggota untuk menjadi referal anda dan anda akan dibayar rp. 25,- per referal lumayan. buat nambah2 pendapatan... dari nge-blog.
Sistem Pendukung :
1. Sistem Reseller.
Jika Anda bergabung, maka Anda berhak mendapatkan website replika/URL dengan pola sebgaia berikut :
http://www.KomisiGRATIS.com/?id=username_anda
CONTOH http://www.komisiGRATIS.com/?id=anakciremai
URL ini berfungsi untuk mengembangkan jaringan anda, dimana siapapun yang bergabung melalu URL tersebut secara otomatis akan menjadi DOWNLINE anda.
Selain itu URL tersebut juga akan menampilkan Informasi bisnis yang anda miliki klik disini
pasang iklan blog sendiri di dapat menghasilkan uang Rp. 277.777.750,-... segera daftarkan..... kita hanya mendaftarkan iklan blog kita kemudian cari 10 anggota untuk menjadi referal anda dan anda akan dibayar rp. 25,- per referal lumayan. buat nambah2 pendapatan... dari nge-blog.
Sistem Pendukung :
1. Sistem Reseller.
Jika Anda bergabung, maka Anda berhak mendapatkan website replika/URL dengan pola sebgaia berikut :
http://www.KomisiGRATIS.com/?id=username_anda
CONTOH http://www.komisiGRATIS.com/?id=anakciremai
URL ini berfungsi untuk mengembangkan jaringan anda, dimana siapapun yang bergabung melalu URL tersebut secara otomatis akan menjadi DOWNLINE anda.
Selain itu URL tersebut juga akan menampilkan Informasi bisnis yang anda miliki klik disini
2.Water Flow Randomizer (WFR),
Sistem inilah yang bekerja memberikan keuntungan bagi Anda tanpa henti 24 jam penuh selamanya. Saat ada pengunjung akan mendaftar dan memasuki website TANPA SPONSOR, Maka Otomatis Sistem akan melakukan Randomizer (pengacakan) terhadap Seluruh Member untuk dijadikan sponsor / Upline. Sistem randomizer akan mendahulukan member yang belum punya downline atau punya downline paling sedikit, serta jika terdapat beberapa member yang sama-sama belum punya downline maka sistem akan memilih member yang join paling dahulu untuk dijadikan Sponsor. Ibarat Aliran Air (water flow), maka randomizer ini akan mengalir kebawah dulu.
3.Water Flow Spill Over (WFSO),
Saat Matrix dari member terpenuhi (Telah mencapai 10 Downline) maka (Kelebihan) Downline berikutnya Secara otomatis, sistem akan melakukan Spill Over (limpahan) kebawah jaringannya. Sistem akan menelusuri jaringan yang belum mendapat downline sama sekali atau yang mempunyai downline paling sedikit untuk diberi Spill Over (limpahan). Jika jaringan sama-sama masih belum punya downline atau jumlah downlinenya sama, maka sistem akan mencari yang Join terlebih dahulu pada web ini untuk diberi Spill Over. Ibarat Aliran Air (water flow), maka Spill Over ini akan mengalir kebawah dulu.
4.Full Report System
Anda bisa memantau seluruh perkembangan anda di Program ini melalui Member Area, yang meliputi :
1. Jumlah downline yang sudah anda peroleh hingga Level 7 dibawah anda
2. Jumlah Total KOMISI Tiap LEVEL
3.jumlah KOMISI yang sudah anda Ambil
4. Jumlah KOMISI yang Belum anda Ambil
5. Dsb
5. Fair System
Siapa yang bekerja dan berusaha lebih keras, akan mendapatkan hasil lebih banyak dalam waktu yang lebih singkat, tidak hanya menguntungkan member yang bergabung terlebih dahulu, oleh karenanya jangan ragu-ragu untuk segera bergabung untuk menjadi Succsess Business Online dalam program ini dan ciptakan MESIN PENGHASIL UANG yang akan membanjiri rekening bank Anda. Disamping itu pula program ini mengutamakan kejujuran dan kebersamaan dalam menjalankan bisnis ini, sehingga tidak terjadinya kecurangan yang dapat merugikan member - member lainnya.
Monday, April 19, 2010 Mempercepat blog dengan tool page speed dan firebug.
bukan mobil atau motor saja yang harus di turn up blog juga harus di modif karena sekarang google sudah menjadikan kecepatan halaman website / blog (page speed) menjadi salah satu dasar penilaian untuk sebuah website yang nantinya akan berpengaruh kepada ranking sebuah blog yaitu pagerank.
Seperti yang pernah saya posting di majalengka.biz yaitu cara menaikan pagerank dengan page speed serta posting cara instal dan fitur add on firebug untuk mozila firefox. dengan kedua add on tersebut kita bisa melihat nilai kecepatan blog kita, dapat mengetahui kesalahan HTML, CSS, misalnya ada kode CSS tidak dipakai, maka firebug akan memberikan saran untuk perubahan CSS tersebut. selain itu ada juga ada beberapa fitur yang harus dioptimasi, berikut contoh hasil dari analisa add on firebug untuk anakciremai.com:
bukan mobil atau motor saja yang harus di turn up blog juga harus di modif karena sekarang google sudah menjadikan kecepatan halaman website / blog (page speed) menjadi salah satu dasar penilaian untuk sebuah website yang nantinya akan berpengaruh kepada ranking sebuah blog yaitu pagerank.
Seperti yang pernah saya posting di majalengka.biz yaitu cara menaikan pagerank dengan page speed serta posting cara instal dan fitur add on firebug untuk mozila firefox. dengan kedua add on tersebut kita bisa melihat nilai kecepatan blog kita, dapat mengetahui kesalahan HTML, CSS, misalnya ada kode CSS tidak dipakai, maka firebug akan memberikan saran untuk perubahan CSS tersebut. selain itu ada juga ada beberapa fitur yang harus dioptimasi, berikut contoh hasil dari analisa add on firebug untuk anakciremai.com:
Tuesday, June 8, 2010 Ranking dari website adalah ranking yang pasti diburu oleh para blogger indonesia baik ranking dari google yaitu pagerank maupun ranking alexa. setelah saya memposting cara menaikan ranking alexa kini saya akan membahas cara menaikan pagerank dengan template dan ini banyak digunakan oleh para design template.
Apakah bisa template menaikan pagerank? jawabannya bisa, Karena dengan template kita bisa pasang link credit pada template yang kita buat, kemudian sebarkan template tersebut kepada orang lain dan jika nantinya tempalte tersebut dipakai oleh orang lain, tentunya bakclink untuk blog atau website kita akan bertambah tanpa harus blogralking.
Lantas bagaimana cara menaikan pagerank dengan template?
Caranya gampang-gampang susah, gampangnya kita hanya pasang link pada template bikinan kita susahnya adalah cara membuat template tersebut. terutama bagi para blogger pemula.
Tapi ada cara yang lebih ringan sedikit yaitu dengan mengedit template orang lain dan memasang link credit tersebut pada template. tapi dengan tidak menghilangkan link credit si pembuat template.
Minggu, 06 Juni 2010
Memberdayakan Masyarakat Marjinal
MEMBERDAYAKAN MASYARAKAT MARJINAL
MELALUI PENDIDIKAN LIFE SKILL
Oleh : Achmad Taufik
Menurut UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, dinyatakan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat. Artinya bahwa manusia sepanjang hidupnya membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya dan hal ini secara tidak langsung tercermin pada aspek kehidupan kita sehari – hari misalnya dalam berorganisasi maupun dalam pergaulan masyarakat (bermasyarakat). Karena disanalah sebenarnya diri kita mengaktualisasikan potensi diri melalui proses pembelajaran pada permasalahan yang timbul dalam masyarakat.
Dunia pendidikan merupakan dunia yang unik dan penuh dengan beragam permasalahan, baik itu yang berasal dari intern maupun ekstern lingkungan pendidikan. Kondisi ini adalah hal yang wajar sekali, mengingat dunia pendidikan tidak saja mengelolah benda – benda fisik, akan tetapi yang tidak kalah pentingnya yaitu mengelolah sesuatu yang hidup berupa manusia yang memiliki perasaan, pikiran, egoisme, nafsu / hasrat dan keinginan – keinginan lainnya.
Tantangan pendidikan nasional yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dewasa ini adalah 1) Peningkatan pemerataan kesempatan pendidikan, 2) Peningkatan kualitas pendidikan, 3) Peningkatan efesiensi pendidikan, dan 4) Peningkatan relevansi pendidikan. Begitu pula tantangan di lingkungan Pendidikan Non Formal (PNF), dimana permasalahan – permasalahan yang terjadi semakin komplek saja. Hal ini disebabkan dunia Pendidikan Non Formal adalah dunia yang berhadapan langsung dengan masyarakat / peserta didik yang “bermasalah”, baik itu bermasalah dari segi ekonomi (kemiskinan), segi pendidikan (putus sekolah), segi sosial (pengangguran), segi sumber daya manusia (rendahnya ketrampilan yang dimiliki) dan lain sebagainya. Dengan kata lain, Pendidikan Non Formal menitik beratkan pada pemberdayaan “masyarakat sampah” atau masyarakat yang bermasalah secara kolektif.
Masyarakat yang bemasalah ini secara umum sering disebut sebagai “Masyarakat Marjinal”. Secara harfiah marjinal berasal dari kata marjin yang artinya tepi atau pinggiran. Sedangkan masyarakat marjinal sering disebut sebagai masyarakat pinggiran. Dimana salah satu ciri khas dari masyarakat marjinal adalah tidak terperdayanya / terpinggirnya keberadaan mereka dalam mendapatkan akses ekonomi, pendidikan, sosial budaya bahkan politik, sehingga menyebabkan timbulnya pemiskinan struktural, kebodohan dan keterbelakangan dalam segala aspek kehidupan.
Mengutip beberapa tulisan yang ada, dinyatakan bahwa keberadaan mereka dapat dikatagorikan sebagai kaum buruh rendahan, kaum imigran kota (pemukinan kumuh dan padat), masyarakat di daerah perbatasan, maupun masyarakat desa tertinggal karena faktor sumber daya alam yang tidak mendukung. Keberadaan mereka pelan tapi pasti menjadi penyebab terjadinya akumulasi segala bentuk penyakit masyarakat seperti pelacuran, gelandangan / pengemis, anak jalanan, pencurian, perampokan, human trafficking, narapidana, dan lain - lain di suatu negara. Dengan demikian masyarakat marjinal ini bila tidak diberdayakan melalui pemberian solusi yang tepat, maka dapat menjadi bom waktu yang dahsyat, sehingga dapat merusak sendi - sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pendidikan, khususnya Pendidikan Non Formal (PNF) merupakan kata kunci yang tepat dalam mengurai benang kusut yang terjadi dalam masyarakat marjinal. Salah satu unsur dalam PNF adalah Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill). dimana inti dari Pendidikan Life Skill ini adalah pembelajaran pada peserta didik dengan mengutamakan aspek ketrampilan yang dapat dipakai sebagai penunjang dan pegangan hidup bagi mereka. Artinya ada relevansi pendidikan dengan kehidupan nyata yang nantinya akan dijalani oleh peserta didik. Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) merupakan salah satu institusi dari Pendidikan Non Formal yang memiliki peran penting dan strategis sekali dalam upayanya memberdayakan masyarakat marjinal khususnya di bidang pendidikan yaitu melalui program – program pendidikan Life Skill seperti pertukangan kayu, otomotif, menjahit, bordir, sablon, elektro, komputer dan lain – lain. Sehingga tidak salah bila problem kemiskinan dan kebodohan yang dihadapi masyarakat marjinal dapat dicarikan solusinya melalui program - program PNF yang ada dalam institusi Sanggar Kegiatan Belajar (SKB).
Kondisi Pendidikan Pada Masyarakat Marjinal
Salah satu kontribusi terbesar terserapnya peserta didik pada program Kesetaraan maupun Kecakapan Hidup (Life Skill) adalah masyarakat marjinal yang berada pada desa tertinggal / miskin akibat aspek Sumber Daya Alam yang tidak mendukung kehidupan mereka. Dari data yang ada, bahwa jumlah masyarakat miskin tahun 2004 sebanyak 36,1 juta dan tahun 2005 meningkat menjadi 54 juta, dimana sekitar 15,4 juta penduduk miskin tersebut mendapatkan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang merupakan alokasi dana APBN dari kompensasi kenaikan BBM.
Kondisi di atas menjadi semakin rumit ketika terjadi krisis ekonomi yang kedua pada tahun 2007, yang menyebabkan kondisi sosial ekonomi masyarakat semakin terpuruk, yaitu banyaknya industri keuangan (bank, asuransi, lembaga kredit, dll) yang gulung tikar sehingga terjadi PHK masal. Dampak tersebut menyeret pula pada sektor industri yang masih banyak memiliki hutang pada lembaga keuangan, sehingga terjadi gagal pembayaran.
Masyarakat miskin desa ditambah dengan masyarakat miskin kota akibat PHK inilah yang memiliki kontribusi terbesar pada jumlah angka pengangguran terbuka di Indonesia yaitu tahun 2003 sebanyak 9,5 juta, tahun 2004 sebanyak 10,8 juta dan tahun 2005 sebanyak 11,27 juta serta jumlah penduduk setengah pengangguran sebanyak 30,1 juta. Mereka semua adalah penduduk usia produktif yang mengalami penurunan daya beli serta ketidakmampuan menyekolahkan anak mereka, artinya banyak diantara anak – anak mereka yang mengalami putus sekolah atau drop out.
Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa rata – rata lama pendidikan penduduk usia 15 tahun hanya 7,1% dibawah pendidikan dasar 9 tahun. Artinya penduduk dengan usia sampai 15 tahun yang dapat mengenyam pendidikan hanya 7,1%. Di lain pihak dapat dilihat pada data angka partisipasi sekolah, yaitu untuk penduduk usia 7-12 tahun (SD) 96%, usia 13-15 tahun (SMP) 81% dan usia 16-18 tahun (SMA) 50,97%. Hal ini berarti angka partisipasi sekolah menunjukkan tren yang semakin menurun, yaitu semakin tinggi jenjang suatu sekolah, maka semakin menurun kemampuan masyarakat untuk menyekolahkan anak – anak mereka.
Keberadaaan masyarakat marjinal dengan kondisi sosial, ekonomi, dan pendidikan seperti diatas akan berdampak pada menurunnya kemampuan mereka untuk menyekolahkan anak - anaknya, sehingga program pemerintah dalam meningkatkan kualitas SDM melalui pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa mengalami stagnasi. Artinya pemberdayaan masyarakat marjinal akan semakin sulit teratasi tanpa adanya peningkatan taraf hidup (pendapatan) masyarakat. Hal ini sesuai dengan fakta di beberapa negara maju, bahwa pendapatan masyarakat yang tinggi akan berbading lurus (berpengaruh) dengan peningkatan kualitas SDM. Sehingga akar permasalahan masyarakat marjinal sebenarnya adalah tidak adanya pendapatan / penghasilan yang memadai di kalangan mereka akibat terputusnya akses ekonomi, sehingga berdampak pada segi – segi kehidupan lainnya, termasuk pendidikan bagi anak – anak mereka.
Dengan demikian menurut penulis, bahwa kondisi masyarakat marjinal bila dibiarkan terus menerus akan berdampak pada sektor pendidikan seperti :
a. Semakin banyaknya angka putus sekolah (drop out) dan buta huruf di kalangan mereka.
b. Semakin menurunya kualitas SDM
c. Semakin tingginya angka pengangguran.
d. Semakin tingginya penyakit – penyakit sosial masyarakat dan kerawanan sosial masyarakat.
e. Indeks kemajuan pendidikan di Indonesia semakin tertinggal dengan negara – negara lain.
Konsep Dasar Pendidikan Life Skill
Beberapa pengertian tentang Life skill dari para ahli pendidikan berbeda – beda karena disesuaikan dengan kepentingan dari peserta didik, akan tetapi esensinya sama. Brolin (1989) mendifinisikan bahwa kecakapan hidup sebagai kontinum pengetahuan dan kemampuan yang diperlukan oleh seseorang untuk berfungsi independent dalam kehidupannya. Malik Fajar (2002) mendifinisikan kecakapan hidup sebagai kecakapan hidup untuk bekerja selain kecakapan untuk berorientasi ke jalur akademik. Sementara itu Tim Broad-Based Education Depdiknas (2002) menafsirkan kecakapan hidup sebagai kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya.
Dalam konteks masyarakat marjinal ini maka pengertian – pengertian diatas merupakan konsep pemikiran yang perlu disosialisaikan pada masyarakat marjinal untuk memotivasi diri mereka dengan cara memberi bekal dasar dan latihan ketrampilan yang disesuaikan dengan nilai -- nilai kebutuhan hidup sehari – hari agar tidak selamanya mengalami keterpurukan dalam kehidupannya. Sehingga wajar apabila solusi PNF melalui pendidikan kecakapan hidup ini terus dikumandangkan pada mereka agar tertarik untuk mengikutinya baik di institusi pemerintah seperti SKB (Sanggar Kegiatan Belajar) ataupun di lembaga – lembaga non profit seperti PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) maupun LSM yang menyelenggarakan pendidikan Life Skill bagi masyarakat kurang mampu.
Sementara itu menurut Tim Broad-Based Education Depdiknas (2002) mengemukakan bahwa tujuan pendidikan kecakapan hidup adalah :
1. Mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problema yang dihadapi.
2. Memberikan kesempatan pada sekolah (Formal / Non Formal) untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis luas.
3. Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lingkungan sekolah (Formal/Non Formal) dengan mendaur ulang limbah alam yang ada untuk dimanfaatkan sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah.
Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan utama pendidikan kecakapan hidup adalah menyiapkan peserta didik agar yang bersangkutan mampu, sanggup dan terampil menjaga kelangsungan hidup dan perkembangannya di masa datang. Esensi dari pendidikan kecakapan hidup adalah untuk meningkatkan relevansi pendidikan dengan nilai – nilai kehidupan nyata, baik secara representatif maupun progresif.
Adanya pendidikan kecakapan hidup (Life Skill) bagi masyarakat marjinal ini akan memberikan manfaat yang nyata baik secara pribadi peserta didik maupun terhadap masyarakat lainnya yaitu :
1. Bagi peserta didik, akan dapat meningkatkan kualitas berfikir, kualitas kalbu, dan kualitas fisik. Peningkatan kualitas tersebut pada gilirannya akan dapat meningkatkan pilihan – pilihan dalam kehidupan individu, misalnya karir, penghasilan, pengaruh, prestise, kesehatan jasmani dan rohani, peluang pengembangan diri, kemampuan kompetitif dan kesejahteraan pribadi.
2. Bagi masyarakat, dapat meningkatkan kehidupan yang maju dan madani dengan indikator – indikator sebagai berikut : peningkatan kesejahteraan sosial, pengurangan prilaku destruktif sehingga dapat mereduksi masalah – masalah sosial dan tumbuhnya harmonisasi dalam masyarakat dengan memadukan nilai – nilai religi, solidaritas, ekonomi, kuasa dan seni (cita rasa).
Implementasi Pendidikan Life Skill terhadap Masyarakat Marjinal
Keberadaan masyarakat marjinal di sekitar kita merupakan fenomena yang wajar dan harus diterima sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Kita tidak dapat menghindar dari kenyataan tersebut sehingga tidak perlu saling menuding dan menyalahkan penyebab dari keberadaan mereka, Yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana upaya kita sebagai anggota keluarga besar bangsa Indonesia ini untuk turut serta mencari solusi dalam rangka memberdayakan mereka agar tidak mengalami keterpurukan yang berkelanjutan.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memberdayakan mereka adalah dengan peningkatan kualitas hidup melalui jalur pendidikan non formal yaitu dengan mengikutsertakan mereka ke dalam program pendidikan kecakapan hidup (Life Skill). Banyak jenis pendidikan Life Skill yang dapat mereka pilih sesuai dengan kebutuhan hidup sehari – hari mereka. Menurut Tim Broad- Based Education Depdiknas (2002) bahwa kecakapan hidup meliputi lima katagori yaitu : a) Kecakapan personal, b) Kecakapan berpikir rasional, c) Kecakapan sosial, d) Kecakapan akademik dan e) Kecakapan Kejuruan. Sementara itu menurut Slamet PH (2009) merumuskan kecakapan hidup dalam dua katagori yaitu :
1. Kecakapan hidup bersifat dasar, meliputi :
a. Kecakapan belajar terus menerus : merupakan kecakapan terpenting bagi peserta didik, karena mau belajar untuk menambah wawasan / ilmu, sehingga dapat membuka kesuksesan di masa depan.
b. Kecakapan Calistung : kecakapan ini dapat memberikan peserta didik untuk memahami dan menafsirkan informasi baik dalam bentuk bacaan, tulisan maupun hitungan.
c. Kecakapan berkomunikasi : peserta didik dapat berinteraksi baik lisan, tulisan, gambar, dan mendengar.
d. Kecakapan berpikir : peserta didik dapat berpikir secara deduktif – induktif, ilmiah, kritis nalar, rasional, sistemik, dan kreatif dalam memecahkan persoalan dan pengambilan keputusan.
e. Kecakapan kalbu : iman (spiritual), rasa dan emosi yang terkendali bagi peserta didik, merupakan unsur – unsur pembentuk jiwa yang kuat disamping juga akal.
f. Kecakapan mengelola kesehatan badan : dengan badan sehat dan kuat , maka segala aktivitas dapat dilakukan dengan baik oleh peserta didik.
g. Kecakapan merumuskan keinginan dan upaya untuk mencapainya : peserta didik dapat memotivasi diri agar teguh dan pantang menyerah dalam menggapai cita – cita.
h. Kecakapan berkeluarga dan sosial : peserta didik diajarkan tentang nilai-nilai kasih sayang dalam keluarga seperti kesopanan, toleransi, kedamaian, keadailan, respek, kecintaan, solidaritas dan tatakrama. Disamping itu juga nilai-nilai sosial kemasyarakatan seperti menjunjung tinggi HAM, peduli pada barang-barang milik publik, kerjasama, tanggungjawab, keterbukaan dan apresiasi terhadap keanekaragaman.
2. Kecakapan hidup instrumental, meliputi :
a. Kecakapan memanfaatkan teknologi dalam kehidupan : seperti memanfaatkan dalam bidang pertanian, peternakan, kerajinan, industri, perdagangan, dll.
b. Kecakapan mengelola sumber daya : seperti mengidentifikasi, mengorganisir, merencanakan dan mengalokasikan sumber daya.
c. Kecakapan bekerjasama dengan orang lain : diajarkan tentang pentingnya kebersamaan, menghargai orang lain, tangungjawab, akuntabilitas, manajemen negosiasi dan kepemimpinan.
d. Kecakapan memanfaatkan informasi : peserta didik diajarkan cara – cara mencari sumber informasi yang ada.
e. Kecakapan menggunakan sistem dalam kehidupan : diajarkan cara berpikir, cara mengelola dan cara menganalisis kehidupan sebagai sistem.
f. Kecakapan berwirausaha : peserta didik diajarkan untuk (1) bersikap dan berpikiran mandiri, (2) bersikap berani menaggung resiko, (3) tidak suka mencari kambing hitam, (4) berusaha menciptakan dan meningkatkan nilai sumber daya, (5) terbuka terhadap umpan balik, (6) selalu ingin perubahan yang lebih baik, (7) tidak pernah puas, selalu berinovasi dan improvisasi demi perbaikan, (8) memiliki tangungjawab moral yang baik.
Dalam kontek masyarakat marjinal, maka semua katagori kecakapan hidup seperti diatas baru dapat berdampak pada mereka jika katagori kecakapan hidup tersebut dapat mengangkat harkat kehidupan mereka yaitu bagaimana caranya agar mendapatkan penghasilan yang layak bagi kelangsungan hidup mereka. Dengan penghasilan yang layak tentunya mereka dapat mengatasi segala problema yang mereka hadapi, termasuk ketidakmampuan menyekolahkan putra putrinya. Sehingga berdasarkan lima katagori maupun dua katagori pendidikan life skill tadi, maka yang mungkin mereka pilih adalah kecakapan kejuruan / ketrampilan dengan dijiwai kecakapan berwirausaha, yaitu dengan memilih minat / bakat ketrampilan apa yang dapat dikuasai untuk mendapatkan penghasilan (income) dan berusaha untuk mandiri dengan cara berwirausaha. Ini adalah pilihan yang rasional yang saat ini mereka butuhkan.
Penerapan pendidikan life skill dengan memilih kecakapan kejuruan dan dengan dijiwai kecakapan berwirausaha dapat diaplikasikan jika mereka memiliki kesadaran akan potensi dirinya untuk berkembang serta bermanfaat bagi kelangsungan kehidupannya. Artinya mereka sadar akan butuh ilmu ketrampilan yang akan digunakan kelak untuk berwirausaha. Tinggal bagaimana mereka dapat mengasah kecakapan berpikir dan kecakapan mencari informasi tentang jenis ketrampilan apa saja yang dapat dipelajari dan di lembaga / institusi mana saja yang menyediakan pembelajaran kecakapan kejuruan tersebut.
Disinilah peran institusi Pendidikan Non Formal (PNF) seperti Sanggar Kegitan Belajar (SKB), PKBM serta LSM yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat, untuk mengajak mereka (masyarakat marjinal) belajar kecakapan kejuruan / ketrampilan serta kecakapan berwirausaha. Ajakan dan himbauan ini tidaklah berguna jika metode pendekatan kita tidak menerapkan sistem “Human Approach” yaitu system pendekatan kemanusiaan dengan memberikan perngertian dan memotivasi mereka akan pentingnya belajar untuk menambah ilmu dan wawasan demi kelangsungan hidup mereka. Tentu hal ini tidak mudah dan membutuhkan waktu serta ketekunan tersendiri, sehingga diharapkan dengan kesadaran mereka sendiri untuk bangkit dari keterpurukan dan mereka bersedia belajar untuk menambah ilmu ketrampilan dan berwirausaha demi menatap masa depan yang lebih cerah. Apabila kesadaran dan motivasi untuk bangkit agar tetap survive, maka lambat laun permasalahan yang ada pada masyarakat marjinal dapat dikurangi.
Bagi institusi PNF yang menyelenggarakan pendidikan kecakapan hidup dapat memberikan berbagai macam ketrampilan seperti otomotif, las bubut, komputer, pertukangan, elektro, menjahit, border, kerajinan, sablon, agribsinis, peternakan, perikanan dan lain – lain. Dalam proses pembelajaran, maka seyogjanya institusi PNF tadi telah memiliki link / jaringan ke perusahaan untuk proses pemagangan dari peserta didik. Link / jaringan selajutnya yang tidak kalah pentingnya adalah pemberian informasi tentang lembaga – lembaga keuangan yang dapat membiaya usaha mikro bagi peserta didik yang berkeinginan untuk usaha mandiri. Jika tahapan proses – proses yang telah dilakukan oleh institusi PNF tadi seperti pendekatan kemanusiaan, pemberian informasi, penyelenggaraan pendidikan, pemagangan dan permodalan dapat dilalui dengan baik, maka besar kemungkinan pemberdayaan masyarakat marjinal dapat dituntaskan melalui pendidikan Life Skill.
SUMBER BACAAN
Download artikel, Slamet _PH, 12 April 2010, Pendidikan Kecakapan Hidup : Konsep Dasar.
Download artikel, Ningrum Khasanah, 12 April 2010, Pembelajaran Life Skill (Kecakapan Hidup) Di Sekolah Alam Ar_Ridho Bukit Kencana Jaya Kecamatan Tembalang Kota Semarang.
Download artikel, 16 April 2010, PKBM Solusi Pendidikan Memberdayakan Masyarakat Marjinal.
Download artikel, Sarah Serena, SH, MH, 16 April 2010, Negara, Pemiskinan Struktural dan Kaum Buruh.
Download artikel, Jawahir Tantowi, SH, PhD, 16 April 2010, Masyarakat Marjinal Perbatasan di Kalimantan Barat.
PROFIL PENULIS
Perjalanan Hidup : Masa kecil yang indah berada di kota Balikpapan , Samarinda dan Mataram, masa remaja dihabiskan di kota Bali, Mojokerto dan Malang, serta pengabdian pada bangsa & negara di Bumi Reog Ponorogo.
Nama : ACHMAD TAUFIK
Unit Kerja : UPT SKB KABUPATEN PONOROGO
Jabatan Organ. Profesi : Ketua FPBI Kabupaten Ponorogo
Email : MASGUSFIK@YMAIL.COM
Selama menjadi PB telah membentuk al :
1. Bidang Kesetaraan :
a. Program Kejar Paket A di Ds. Dayakan Kec. Badekan Tahun 2004 (Ketua)
b. Program Kejar Paket B di Ds. Sawuh Kec. Siman Tahun 2004 (Ketua)
3. Bidang Dikmas : Program KF di Ds. Kemuning, Kec. Sambit Tahun 2005 (Sekretaris)
4. Membentuk lembaga PKBM Budi Luhur di Ds. Sawuh Kec. Siman Tahun 2004 (Ketua).
5. Program Blok Grant al :
a. Ketua Diklat Agribisnis Ayam Potong Tahun 2002
b. Anggota Diklat Otomotif Sepeda Motor Tahun 2003 dan 2004
c. Anggota Block Grant PTK – PNF TAHUN 2006, 2007
6. Bidang PAUD :
a. Program PAUD Adinda di Ds. Kertosari, Kec. Babadan Tahun 2006 - 2007 (Sekretaris)
7. Kepemudaan dan Life Skill :
a. Tahun 2007 (sekretaris)
b. Tahun 2008 ( Ketua )
c. Program Life Skill Sapi Perah Tahun 2008 (Sekretaris)
8. Program Kejar Paket C kelas Berjalan 2007-2009 (anggota)
9. Program Block Grant PTK – PNF TAHUN 2008 (Sie Program & Perncanaan)
10. Program SKB Pembina 2008 (Sekretaris)
11. Bidang Kelembagaan / SIM :
a. Program KUPP (Sekretaris)
b. Program SIM PNFI 2009 – sekarang (Ketua)
Menelaah SKB Pembina
Disaat SKB Kab. Ponorogo didaulat sebagai SKB Pembina, banyak pertanyaan yang berkecamuk di kalangan rekan-rekan PB, sehingga keluarlah artikel ini.
MENELAAH SUBSTANSI SKB PEMBINA
DALAM PRESPEKTIF UPT SKB KABUPATEN PONOROGO
Oleh : Achmad Taufik
Sejak berdirinya UPTD SKB Kabupaten Ponorogo 9 tahun lalu tepatnya 14 Oktober 2000, telah banyak hasil – hasil pencapaian program – program PNFi yang telah dilaksanakan dan dirasakan manfaatnya oleh kalangan masyarakat marginal, khususnya bagi peserta didik pada program – program Kesetaraan maupun program – program PNFi lainnya. Dalam perjalanannya sampai sekarang, juga banyak mengalami pasang surut ketika proses penyelenggaraan program – program PNFi sedang dilaksanakan, baik dalam bentuk kendala – kendala yang dihadapi maupun perubahan – perubahan kebijakan mulai dari pemerintah pusat sampai pemerintah daerah. Proses perjalanan ini dimulai pada era dimana lembaga SKB beserta perangkatnya berasal dari pemerintah pusat, dan sampai pada akhirnya mengikuti sistem otonomi daerah.
Pada perkembangan selanjutnya, program – program PNFi yang diselenggarakan oleh UPTD SKB Kabupaten Ponorogo harus dapat bersinergi dengan kebijakan – kebijakan pemerintah daerah, sehingga diharapkan nantinya lembaga UPTD SKB Kabupaten Ponorogo akan tetap eksis keberadaannya.
Adanya momentum bantuan pendanaan untuk program SKB Pembina bagi SKB – SKB di lingkup Regional 4 Jawa Timur inilah, yang mendorong UPTD SKB Kabupaten Ponorogo untuk ikut tampil dalam kompetisi tersebut. Kepercayaan diri UPTD SKB Kabupaten Ponorogo dalam kompetisi tersebut bukanlah tanpa alasan. Sebab UPTD SKB Kabupaten Ponorogo telah memiliki perangkat lunak maupun keras sebagai sebuah institusi, yaitu dari segi sumber daya manusia (SDM /ketenagaan), sarana prasarana (kondisi gedung), memiliki jaringan kemitraan, legalitas yang cukup kuat dan letaknya yang strategis di tengah – tengah kota Ponorogo, sehingga UPTD SKB Kabupaten Ponorogo merasa telah memiliki modal dan kepercayaan diri yang cukup untuk turut bersaing.
Dari Segi SDM UPTD SKB Kabupaten Ponorogo memiliki 19 Pamong Belajar ( 2 orang S2 dan lainnya S1) dan 11 staf TU, sehingga seluruh personel berjumlah 30 orang. Kondisi ini merupakan jumlah yang paling besar untuk ukuran SKB sewilayah Regional Jawa Timur.
Sementara itu untuk sarana prasarana yang dimiliki antara lain 3 ruang belajar Kesetaraan lengkap dengan meja kursinya, 1 ruang PB, 1 ruang TU, 1 ruang kepala, 1 ruang ICDL, 1 ruang laboratorium bahasa, 1 aula serbaguna, 1 ruang mushola, 1 unit bis kelas berjalan, 1 unit mobil TBM, dan 1 sepeda motor gerobak kesetaraan. Disamping itu letak yang strategis di tengah kota merupakan nilai plus tersendiri, dimana lembaga UPTD SKB Kabupaten Ponorogo akan mudah dijangkau dari segala penjuru Kabupaten Ponorogo, sehingga memudahkan masyarakat luas untuk lebih mengenal keberadaan lembaga ini.
Faktor legalitas dan kemitraan suatu lembaga di era otonomi ini sangatlah menentukan sekali terutama dalam kontek keeksistensian sebuah institusi. Oleh sebab itu UPTD SKB kabupaten Ponorogo telah memiliki Perda lanjutan dengan Nomor : 51 Tahun 2008 tanggal 30 Desember 2008, tentang pembentukan, susunan organisasi dan tata kerja UPT di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Ponorogo. Dengan telah dimilikinya aspek legalitas ini, maka keberadaan UPTD SKB Kabupaten Ponorogo secara yuridis formal telah diakui sebagai bagian dari satuan kerja (satker) pada pemerintah daerah Kabupaten Ponorogo, sehingga ke depan dalam proses penyelenggaraan program – program PNFi relative lebih mudah dan penamaannyapun sekarang menjadi UPT SKB Kabupaten Ponorogo. Sedangkan kemitraan yang dimiliki oleh lembaga ini antara lain Tim Penggerak PKK Kabupaten Ponorogo, beberapa salon kecantikan & tatarias rambut, Dinas Indakop, beberapa lembaga kursus menjahit & bordir, lembaga kursus komputer serta bengkel sepeda motor sebagai tempat magang peserta didik.
Adanya beberapa potensi – potensi seperti diatas yang telah dimiliki UPT SKB Kabupaten Ponorogo ini, maka sudah selayaknya untuk memperoleh predikat sebagai SKB Pembina. Sejalan dengan berbagai tahap proses seleksi dan penilaian yang dilakukan oleh BPPNFi Regional 4 Surabaya, maka akhirnya UPT SKB Kabupaten Ponorogo telah mendapatkan predikat sebagai SKB Pembina yaitu dengan diterimanya usulan proposal sebesar 100 juta. Harus diakui ini merupakan prestasi yang cukup membanggakan dan patut kita syukuri bersama, terlepas masih adanya kekurangan – kekurangan yang dimiliki oleh lembaga UPT SKB Kabupaten Ponorogo. Namun demikian, bila kita telaah bersama, apakah hanya cukup sebatas potensi – potensi yang dimiliki seperti contoh diatas itu saja, yang menyebabkan UPT SKB Kabupaten Ponorogo ini mendapat predikat sebagai SKB Pembina ? Menurut penulis yang perlu diperhatikan ke depan dalam upaya pengembangan SKB Pembina adalah mengetahui lebih dahulu apa sebenarnya substansi dari SKB Pembina itu sendiri. Sehingga dengan telah mengetahui substansi tersebut, maka perkembangan UPT SKB Kabupaten Ponorogo ke depan tidak hanya sebatas menggugurkan rutinitas program yang diusulkan setiap tahun, tetapi lebih dari itu lembaga ini dapat sebagai pioner di garda terdepan dalam penyelenggaraan program – program PNFi dengan konsep – konsep yang lebih aktual dan kredibel.
Apakah Substansi SKB Pembina ?
Pertanyaan ini adalah sesuatu yang sangat mendasar dan sangat berpengaruh terhadap segi pemerataan dan perluasan akses, segi peningkatan mutu, relevansi dan daya saing, serta segi tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik suatu lembaga seperti UPT SKB Kabupaten Ponorogo. Sejujurnya saja bahwa dalam benak sebagian besar Pamong Belajar UPT SKB Kabupaten Ponorogo ini belum mengetahui secara detil tentang substansi keberadaan SKB Pembina yang telah disandangnya. Bisa dibayangkan bahwa dalam kurun waktu yang relatif singkat yaitu 9 tahun, lembaga ini telah dapat mengungguli SKB – SKB lain yang lebih lama keberadaannya. Sehingga wajar saja apabila timbul pertanyaan “Bagaimana arah ke depan UPT SKB Ponorogo setelah menyandang predikat sebagai SKB Pembina ? “Apakah predikat SKB Pembina ini untuk selamanya ? “Apakah tidak ada akreditasi atau penilaian lanjutan dari pihak – pihak yang berkompeten ? Pertanyaan – pertanyaan besar inilah yang sebenarnya berkecamuk di benak Pamong Belajar, khususnya para anggota panitia SKB Pembina
Beberapa diskusi atau pembicaraan penulis dengan rekan sejawat, umumnya memberikan komentar yang berbeda – beda sesuai penafsiran mereka masing-masing. Ada yang mengatakan bahwa substansi SKB Pembina menfokuskan pada program Kesetaraan, ada yang menekankan pada aspek ketrampilannya (vokasional) dan bahkan ada yang pesemistis hingga memprediksi tidak akan bertahan lama dengan predikat tersebut.
Jika kita menyimak pada pedoman bantuan program SKB Pembina Tahun 2008 disebutkan bahwa pengertian SKB Pembina adalah SKB yang menyelenggarakan program PNF unggulan, yang memenuhi standar pelayanan diatas standar pelayanan minimal, yang memiliki kapasitas sebagai contoh dan dapat memberikan bantuan pembinaan program PNF bagi SKB lain. Disamping itu tertera pula bahwa tujuan umumnya adalah “mengoptimalkan kemampuan SKB Pembina dalam menyelenggarakan program – program percontohan PNF dan mengembangkan kapasitas pembinaan program PNF bagi SKB lain”. Sedangkan tujuan khususnya yaitu :
1. Memberikan motivasi kepada SKB agar menyelenggarakan program PNF unggulan, memenuhi standar pelayanan di atas standar pelayanan minimal.
2. Memberikan motivasi kepada SKB agar melaksanakan rintisan model PNF
3. Mengembangkan SKB yang memiliki kapasitas sebagai contoh dan dapat memberikan bantuan pembinaan program PNF bagi SKB lain.
Dari pengertian dan tujuan program SKB Pembina tersebut, maka timbul sebuah pertanyaan lagi, yaitu indikator – indikator apa yang dapat diukur agar dapat memenuhi standar pelayanan PNF diatas standar pelayanan minimal ? Dan indikator apa agar suatu program PNF yang dilaksanakan dapat dikatakan sebagai program unggulan ? Kita ketahui bersama bahwa dengan standar pelayanan minimal yang telah diterapkan selama ini saja, belum dapat merangkul peserta didik secara maksimal dalam jumlah tertentu untuk turut serta dalam program kesetaraan misalnya. Apalagi akan diterapkan melebihi standar minimal dan kemungkinan besar peserta didik tidak betah belajar dengan disiplin yang tinggi sehingga banyak yang keluar ditengah – tengah proses penyelenggaraan suatu program. Dan apakah ini merupakan penggiringan program PNF agar memiliki standar seperti Formal ? Sesungguhnya ini adalah merupakan konsep yang sangat idealis tapi belum memiliki indikator yang terukur untuk mencapai standar yang lebih dari standar minimal. Dengan demikian adanya SKB Pembina ini diperlukan suatu sistem kerja dan perencanaan dengan konsep yang matang, terarah dan berkesinambungan dalam penyusunan maupun pelaksanaan program – program PNF di masa – masa mendatang..
Selanjutnya dalam buku pedoman tersebut, tidak tampak secara implisit tentang format ataupun substansi dari SKB Pembina, yaitu bagaimana bentuk riil sebuah institusi yang berpredikat “Pembina” dan apa target – target yang harus dicapai sebagai lembaga SKB Pembina ? Apa tindak lanjut setelah pendanaan program SKB Pembina ini selesai ? Apakah setelah pelaporan, berhenti sampai disini saja dan hilang tanpa bekas ?
Pihak BPPNFi Regional 4 Surabaya sebagai induk dari SKB – SKB di wilayah kerjanya, sepengetahuan penulis belum memberikan bentuk – bentuk yang konkrit atau rambu – rambu yang jelas tentang keberadaan SKB Pembina. Memang ada semacam evaluasi dan monitoring yang dilakukan pihak BPPNFi Regional 4 Surabaya, sebelum Pamong Belajar pada lembaga ini melakukan penyusunan program (proposal) tentang program SKB Pembina.
Sepanjang pengamatan penulis, ketika berlangsungnya monev aspek yang ditanyakan maupun arahan yang diberikan oleh petugas monev, hanya mencakup kelengkapan administrasi program – program PNFi, termasuk didalamnya papan – papan data, sarana prasarana, keberadaan gedung/fisik, SDM, kemitraan dan lain – lain, yang menurut penulis merupakan aspek – aspek normatif dan memang seharusnya ada di sebuah lembaga / institusi. Hal tersebut merupakan kewajaran saja dalam suatu lembaga untuk dipenuhi atau dibenahi. Jadi belum ada hal yang spesifik dari hasil monev yang diberikan oleh BPPNFi sebagai dasar akan diberikannya predikat UPT SKB Kabupaten Ponorogo sebagai SKB Pembina. Misalkan saja bagaimana sebuah sistem yang akan dibangun dapat diterapkan secara efektif, efisien dan terencana bagi sebuah institusi SKB Pembina, sehingga dapat merumuskan program – program PNF yang akuntable, kredibel dan aktual.
Kiranya kita setuju dan sepakat, bahwa SKB Pembina bukanlah suatu upaya batu loncatan untuk memuluskan program – program PNFi yang diusulkan oleh SKB, agar lebih diprioritaskan untuk mendapatkan dana bantuan lebih besar nilainya, apalagi hanya sekedar untuk mendapatkan dana rehabilitasi. Lebih dari itu, bahwa SKB Pembina haruslah dapat menjadi motivasi, inspirasi dan paradigma baru bagi seluruh personil yang ada di dalamnya untuk berbenah menuju kearah yang lebih baik dan lebih profesional dari sisi manajemen dengan diiringi kesadaran kolektif baik secara intitusional maupun personal.
Artinya kita harus meninggalkan main stream (pola pikir), bahwa PNF / PLS adalah Pendidikan Luwes Sekali, dalam arti mengajak masyarakat peserta didik untuk lebih disiplin pada pelaksanaan program dan kita harus membangun aspek manajemen dengan semangat transparansi, demokrasi serta kebersamaan adalah kunci utama dalam mengembangkan SKB Pembina agar tetap eksis. Terlebih kebijakan yang diambil haruslah memenuhi kaidah – kaidah manajemen, baik manajemen umum, manajemen SDM maupun manajemen keuangan, seperti yang berlaku dalam sebuah institusi. Sebab pendanaan program – program PNF yang diusulkan bukanlah pendanaan yang main-main, apalagi luwes atau sekedar menghidupi keberadaan lembaga-lembaga SKB, akan tetapi nyata - nyata memang ada dan disediakan untuk program – program yang diusulkan oleh SKB.
Indikator bahwa pendanaan program PNF yang diusulkan tidak main – main adalah harus melalui proses penyusunan program dengan persaratan tertentu serta melalui verifikasi, seleksi dan penilaian yang bertahap. Begitu pula dengan pertanggungjawaban hasil pelaksanaan program, haruslah sesempurna mungkin dengan dilengkapi data-data pendukung serta tanpa ada kesalahan sedikitpun. Akan tetapi sangat disayangkan bahwa pendekatan proses yang serius tersebut terkadang tidak obyektif dalam penilaiannya, akibat adannya proses lobi – lobi tertentu. Jadi sangat jelas sekali bahwa apabila menginginkan standar pelayanan yang melebihi standar pelayanan minimal dan mendapatkan program unggulan, maka program – program PLS / PNF harus diupayakan dan diarahkan lebih serius dalam pelaksanaannya serta yang tidak kalah penting adalah pengalokasian dana sesuai dengan item program yang telah disusun dan tidak terlalu bikrokratis dalam pencairannya. Karena pada hakekatnya pendanaan program memang bertujuan untuk menghidupi dan memperlancar program tersebut, agar mendapatkan output yang maksimal baik secara kualitas maupun kuantitas.
Konsekuensi Logis UPT SKB Kab. Ponorogo Sebagai SKB Pembina
Predikat SKB Pembina pada UPT SKB Kabupaten Ponorogo, sudah barang tentu membawa konsekuensi - konsekuensi yang harus dipenuhi terhadap keberadaan lembaga ini, baik ditinjau dari segi program – program PNF yang diusulkan maupun dari segi standar pelayanan yang digunakan serta kebijakan yang akan diterapkan. Program SKB Pembina secara langsung maupun tidak langsung akan menjadi rujukan bagi program – program lain diluar SKB Pembina. Bahkan bukan tidak mungkin akan menimbulkan suatu pertanyaan, bahwa apa spesifikasi atau program unggulan yang dimiliki pada SKB Pembina sehingga dapat dijadikan contoh untuk SKB lainnya.
Beberapa konsekuensi yang harus dipenuhi oleh UPT SKB Kabupaten Ponorogo sebagai SKB Pembina, menurut penulis antara lain :
1. Harus memiliki program unggulan yang dapat dipakai sebagai percontohan atau rujukan bagi SKB lain.
2. Memiliki model pembelajaran yang inovatif bagi program – program yang sedang dilaksanakan.
3. Memiliki standar pelayanan yang melebihi standar pelayanan minimal dengan indikator yang jelas dan terukur.
4. Personil UPT SKB Kabupaten Ponorogo (PB maupun Pimpinan) harus selalu siap dan bersedia bila diminta oleh SKB lain untuk memberikan motivasi, bimbingan ataupun testimoni dalam berbagai hal tentang program – program PNF atau tentang keberhasilan sebagai SKB Pembina.
5. Memiliki perencanaan program yang akuntable, kredible & aktual, memiliki database PTK PNF yang valid, dan menerapkan standar manajemen mutu bagi penyelenggaraan pengajaran, bimbingan dan pelatihan program PNF.
6. Dapat memberikan peningkatan kesejahteraan bagi personilnya, sehingga dapat lebih profesional dalam kinerjanya.
7. Aktivitas jam kerja berorientasi pada terselesainya target suatu pekerjaan, dalam arti selesainya tugas maka selesailah pekerjaan itu dan memberi kebebasan untuk berkiprah diluar tugas kedinasan untuk menambah wawasan.
8. Dapat memberikan kebebasan berkreasi sepanjang koridor aturan yang berlaku dalam menyusun, melaksanakan dan melaporkan program – program PNF.
9. Dapat menciptakan kebersamaan dan kondisi situasi kerja yang nyaman, sejuk dan harmonis dengan berlandaskan persamaan hak dan kewajiban serta keadilan dalam kedisiplinan.
10. Menerapkan prinsip – prinsip manejemen dalam pengambilan keputusan / kebijakan dan dapat meminimalis kelemahan pada aspek pemerataan dan perluasan akses, aspek mutu, relevansi dan daya saing serta aspek tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik.
Dengan memahami dan menyadari akan konsekuensi logis tersebut, maka kebanggaan dalam menyandang predikat sebagai SKB Pembina harus diiringi pula dengan kesiapan – kesiapan dari institusi, kebijakan dan personilnya untuk dapat mengubah paradigma sistem kelembagaan yang selama ini berjalan, menjadi paradigma yang berbasiskan manajemen mutu dalam menjalankan roda organisasi. Sungguh tugas yang berat dan tidak bisa dianggap sepele, apalagi hanya berdasarkan asas – asas kesepakatan atau keluwesan saja. Jadi dalam menjalankan program – program PNF sudah seharusnya menggunakan kaidah – kaidah peraturan, bukan keluwesan / kesepakatan agar lebih disiplin, terfokus dan tuntas. Bagaimana menurut anda ?
PROFIL PENULIS
Perjalanan Hidup : Masa kecil yang indah berada di kota Balikpapan, Samarinda dan Mataram, masa remaja dihabiskan di kota Bali, Mojokerto dan Malang, serta pengabdian pada bangsa & negara di Bumi Reog Ponorogo.
Kepanitiaan SKB Pembina : Sekretaris
Email : Gusfik@yahoo.com / Masgusfik@ymail.com
Rabu, 02 Juni 2010
Sertifikasi Pamong Belajar (2007)
Kegundahan atas status PB melahirkan artikel ini
SERTIFIKASI PAMONG BELAJAR, MENGAPA TIDAK ?
Oleh : Achmad Taufik
Ketika masyarakat umum dan media masa berbicara tentang pendidikan, maka seringkali fokusnya adalah tentang pendidikan formal seperti SD, SMP, SMU dan Perguruan Tinggi. Padahal kita ketahui bahwa pendidikan itu memiliki cakupan yang luas sekali dan tidak hanya pendidikan formal saja. Dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 disebutkan bahwa jalur pendidikan di Indonesia meliputi Pendidikan Formal (PF), Pendidikan Non Formal (PNF) dan Pendidikan Informal (PIF). Tujuan PNF sendiri adalah menyelenggarakan pendidikan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan dan berfungsi sabagai pengganti, penambah dan / atau pelengkap Pendidikan Formal (PF) dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Sedangkan fungsi dari PNF adalah mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan ketrampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian fungsional.
Salah satu lembaga pemerintah pada Pendidikan Non Formal adalah Balai Pengembangan Pendidikan Non Formal dan Informal (BPPNFI) yang memiliki koordinasi kerja pada Unit Pelaksana Teknis (UPT) Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) yang berada di Kota / Kabupaten. Jumlah personil Pamong Belajar yang berada di SKB sendiri, antara 10 – 20 orang dari berbagai disiplin ilmu, baik itu kependidikan maupun non kependidikan yang semuanya diwajibkan telah memiliki akta IV (SIM untuk mengajar). Adapun tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dari Pamong Belajar secara umum adalah identik sebagai seorang pendidik atau seperti guru. Sebagaimana yang tertuang dalam BAB I, pasal 1 UU Sisdiknas No, 20 Tahun 2003 menyebutkan bahwa Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
Oleh karena Pamong Belajar merupakan pegawai negeri yang berstatus fungsional dan sebagai pendidik, maka timbullah wacana sertifikasi Pamong Belajar yang bertujuan untuk peningkatan profesionalitas dan martabat PB, perlindungan/advokasi profesi PB, serta peningkatan kesejahteraan PB, seperti yang telah dilaksanakan oleh profesi guru. Dari hasil temu koordinasi (Tekon) di BPPNFI di Surabaya pertengahan Juni 2008 lalu, diinformasikan bahwa akan ada perubahan mendasar dari tupoksi Pamong Belajar itu sendiri dari draf Kepmen yang sedang disusun, yaitu lebih menekankan pada aspek KBM seperti mengajar/membimbing, sehingga polanya mirip seperti seorang guru pada pendidikan formal. Sedangkan pada lembaga SKB sendiri, ada salah satu fungsinya yang hilang yaitu sebagai percontohan dan pengendali mutu
PNF, dimana tugas ini dialihkan kepada Penilik PNF. Tentulah hal tersebut merupakan kondisi yang positif dalam pencapaian tujuan sertifikasi Pamong Belajar, karena akan memudahkan penentuan beban jam kerja seorang Pamong Belajar, yang selama ini menjadi kendala bagi tersusunnya konsep sertifikasi PB. Namun demikian pada artikel ini, penulis tetap merujuk pada tupoksi yang masih berlaku yaitu SK Menkowasbangpan Nomor : 25/KEP/Mk.WASPAN/6/1999.
Penulis sangat mendukung dan setuju sekali dengan adanya sertifikasi PB. Akan tetapi sebelum pelaksanaan setifikasi Pamong Belajar ini diberlakukan, maka penentu kebijakan ( Depdiknas Pusat / Propinsi ) haruslah dapat menjawab atas pertanyaan berapakah beban jam kerja sebenarnya (standarisasi jam kerja) bagi Pamong Belajar ? Mengapa demikian ? Karena sarat – sarat sertifikasi selain masa kerja, golongan (bagi PNS), usia, tugas tambahan dan prestasi kerja, maka yang tak kalah pentingnya adalah beban jam kerja / mengajar itu sendiri.
Bila merujuk pada tupoksi Pamong Belajar pada Kepmenkowasbangpan Nomor : 25/KEP/MK.WASPAN/6/1999 disebutkan bahwa Pamong Belajar tidak saja mengajar, tapi juga membimbing, melatih, menilai, perancangan model, menganalisi, mengkaji ulang, memotivasi, memantau, mengidentifikasi, koordinasi & konsultasi, membuat instrument dan seterusnya – dan seterusnya. Kesemua point tersebut bila benar – benar dilaksanakan, maka beban jam kerjanya akan melebihi 24 jam kerja. Suatu hal yang sangat mustahil untuk dilaksanakan. Problem inilah yang belum dapat dijawab oleh pemerintah dalam hal ini Depdiknas, bila aspek / point tupoksi PB dikaitkan dengan sertifikasi.
Dengan demikian, artikel ini akan sedikit banyak akan menjawab problem di atas sebagai upaya salah satu solusi yang ditawarkan penulis. Sehingga ke depan bila sertifikasi Pamong Belajar benar – benar akan diterapkan, maka kita selaku ujung tombak dari pelaku pendidikan non formal telah siap dan tidak akan mengalami kebingungan terhadap penentuan beban jam kerja Pamong Belajar.
PROFIL SKB DI ERA OTODA
Pada era otoda ini, lembaga UPT SKB sendiri memiliki nasih yang beragam. Di satu pihak ada yang mendapat perhatian lebih dari pemerintah daerah, sehingga APBDnya bahkan ada yang sampai mencapai 1 M. Di lain pihak ada yang hanya sebagai pusat pelatihan dan yang paling ekstim adalah sampai terlikwidasi. Otomatis hal inilah yang akan berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap status dan nasib dari Pamong Belajar itu sendiri.
Secara kelembagaan, SKB adalah salah satu lembaga yang merupakan ujung tombak dari PNF serta memiliki tugas memfasilitasi (memantau, mendampingi, membimbing dan mengajar) pada program – program PNF seperti Kejar Paket A, B, C, progam PAUD, Keaksaraan, Life Skill / Ketrampilan Hidup, Kepemudaan, dan seterusnya. Sehingga keberadaannya mirip – mirip seperti lembaga sekolah formal. Dengan demikian peran dan fungsi Pamong Belajar sebagai tenaga fungsional SKB adalah sangat stategis sekali, karena di pundak merekalah hidup – mati dan aksis - tidaknya SKB akan sangat ditentukan, disamping tentunya kebijakan pemerintah daerah sendiri. Oleh karena itu adanya aspek komitmen, motivasi, semangat, ide dan daya kreatifitas dari Pamong sangat diperlukan sekali dalam menentukan prioritas program – program PNF yang akan diusulkan. Dan bila aspek – aspek tersebut dikaitkan dengan rencana sertifikasi bagi Pamong Belajar, maka menurut penulis sangatlah beralasan sekali, karena akan dapat menambah kinerja (motivasi, komitmen dan daya kreatifiktas) dari PB itu sendiri.
Sebutan pamong sendiri di masyarakat umum sangat beragam. Ada yang mengatakan bahwa pamong berada di kantor desa yang disebut pamong desa atau pamong praja yang berada di kantor kabupaten / kota. Ada suatu pengalaman menarik ketika penulis ( mewakili lembaga SKB ) turut serta dalam karnaval 17 agustusan, maka disaat itu masyarakat umum berkomentar : “ pamong kok belajar “. Mungkin anggapan mereka yang namanya pamong itu identik dengan Pamong Desa atau Pamong Praja. Dari kejadian tersebut memperlihatkan bahwa profesi Pamong Belajar (PB) belum sepenuhnya dipahami dan masih awam di mata masyarakat umum. Ketidakpahaman inipun mungkin pula bisa terjadi pada sesama aparat pemerintah (pegawai PNS) lainnya, bahkan Bupati / Walikota pun barangkali tidak tahu bila ada profesi Pamong Belajar di wilayah kerjanya. Ini menjadi tugas kita sebagai Pamong Belajar untuk mensosialisasikan
KONSEP STANDARISASI BEBAN JAM KERJA PB
Ketika kita merujuk pada profesi seorang guru, maka sudah jelas pedomannya yaitu minimal jam kerja / mengajarnya adalah 24 per minggu (rata-rata 6 jam / hari) dan setiap guru hanya bertugas sesuai bidang studinya seperti biologi, matematika, tata boga atau lainnya. Sedangkan jam kerja Pamong Belajar sendiri masih rancu, dikarenakan tupoksi yang dilaksanakan tidak saja mengajar (sebagai pendidik) akan tetapi juga sebagai pencari data (identifikasi), perancang program (membuat proposal), pelaksana dan pengelola program (mengajar/membimbing), pendampingan program (pemantau dan memotivasi), pengevaluasi program (penilaian) serta pelaporan program. Ibaratnya pegawai fungsional sekaligusi bertindak struktural ( keuangan dan administrator)
Suatu kasus misalnya pada Program Kesetaraan Paket C Kelas 1 yang memiliki pagu 20 peserta didik. Ketika program akan dilaksanakan (pra program), maka Pamong Belajar terlebih dahulu melakukan analisis kebutuhan belajar wilayah, yang meliputi calon peserta didik, calon tutor dan calon pengelola yaitu dengan cara melakukan identifikasi ke desa / wilayah yang sekiranya memiliki potensi peserta didik putus sekolah / DO dari kalangan ekonomi lemah dan pengangguran. Kondisi ini tidak dapat hanya dilakukan 6 jam / hari (seperti jam guru), akan tetapi membutuhkan waktu minimal 3 jam / hari, ditambah waktu perjalanan 2 jam (PP) bila daerah itu terpencil dan membutuhkan pelaksanaan berulang-ulang minimal 3 kali pertemuan atau lebih, sampai mendapatkan calon peserta didik / tutor / pengelola yang siap mengikuti program tersebut.
Sehingga penulis berasumsi untuk satu aspek kegiatan identifikasi saja, rata – rata seorang PB bekerja selama 3 jam + 2 jam = 5 jam/hari x 3 pertemuan = 15 jam.. Belum lagi dengan aspek (butir – butir) kegiatan merancang, mengajar, membimbing, memotivasi, memantau, mengevaluasi dan melaporkan yang terkadang waktunya bersamaan dengan identifikasi tadi. Penulis memprediksi jika aspek –aspek kegiatan tersebut benar – benar dilaksanakan dalam sehari, maka beban kerja akan lebih 24 jam / hari dan seorang PB tidak akan memiliki banyak waktu luang untuk beristirahat. Jadi ini baru satu program kesetaraan (paket C) dengan satu aspek / butir kegiatan identifikasi saja.
Bagaimana bila ditambah dengan jenis program kepemudaan, PAUD, life skill, Keaksaraan Fungsional dan lainnya ? Dan perlu diketahui pula seorang PB bekerja tidak didasarkan oleh latar belakang kependidikannya, tapi didasarkan atas aspek kegiatan dan jenis program / bidang yang telah disusun dalam struktural kelembagaan SKB itu sendiri. Bandingkan dengan guru yang hanya rata-rata minimal 6 jam / hari dan itupun sesuai dengan bidang / jurusan atau latar belakang pendidikannya. Dengan demikian menurut penulis perlu sekali mendapatkan perhatian ekstra dan perhitungan yang propo-
sional dari aspek – aspek (butir – butir) kegiatan yang dikerjakan oleh Pamong Belajar, mulai dari mengusulkan program, merancang program, mengidentifikasi program, persiapan KBM, melaksanakan KBM, memantau KBM, menilai KBM dan seterusnya, sehingga ketika akan diberlakukannya sertifikasi Pamong Belajar, maka standarisasi / Pagu beban jam bekerja telah terpenuhi.
Melalui artikel ini, penulis mencoba memberikan gambaran dan solusi tentang penentuan Pagu beban jam kerja bagi Pamong Belajar. Dasar dari penentuan beban jam kerja adalah tupoksi PB yang tertuang dalam SK Menkowasbangpan No. 025/KEP/MK.WASPAN/6/1999 tentang jabatan fungsional dan angka kredit PB, dimana tugas pokok dan fungsi Pamong Belajar memiliki enam unsur utama yaitu :
1) Pendidikan
2) Pengembangan Model
3) KBM Dalam Rangka Pengembangan Model dan Pembuatan Percontohan
4) Penilaian Dalam Rangka Pengendalian Mutu dan Dampak Pelaksanaan Program
5) Pengembangan Profesi
6) Penunjang Pengembangan Model, Kegiatan Belajar Mengajar dan Penilaian.
Dari keenam unsur utama tadi dibagi lagi menjadi sub unsur dan diaplikasikan dalam bentuk butir – butir kegiatan. Jadi menurut penulis perlu adanya penentuan / pagu beban jam kerja PB, yaitu melalui Pemetaan Tupoksi dan Kompetensi PB yang berpijak pada butir – butir kegiatan dan dianalogikan / diekwivalenkan pada beban jam kerja Pamong Belajar.
Berikut ini adalah asumsi penulis, tentang Pemetaan Tupoksi dan Kompetensi Pamong Belajar ( Dari SK Kepmenkowasbangpan No. 25/KEP/MK.WASPAN/6/1999 ) :
Daftar Pemetaan Tupoksi dan Kompetensi Pamong Belajar Berdasarkan Butir - Butir Kegiatan.
No | Tupoksi dan Kompetensi PB | Butir Butir Kegiatan | Jam | Keterangan |
1. | Pengembangan Model PNF | a. Identifikasi Kebutuhan Belajar Wilayah b. Menyusun rancangan model, uji coba model , master model dan pembakuan model progam. | 2 1 | Butir ini dipilih berdasarkan tugas PB yg sering dilaksanakan |
2. | Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) PNF | a. Melatih program b. Membimbing / pendampingan program c. Mengajar program d. Memotivasi / pembinaan program e. Pemantauan program f. Evaluasi program | 3 3 3 3 3 3 | sda |
3. | Penilaian | Mengolah, menganalisis dan melaporkan hasil penilaian program | 1 | sda |
4. | Peningkatan dan Penunjang Kompetensi SDM | Karya tulis dan Seminar | 2 | sda |
JUMLAH | 24 |
Konsep Pemetaan Tupoksi dan Kompetensi PB ini memang masih sangat sederhana dan perlu banyak masukan. Konsep ini juga tidak mendikotomikan antara Pamong Belajar yang ada di BP-PNFI (Surabaya) dengan Pamong Belajar yang ada di SKB (Kabupaten/Kota), karena memang SK Menkowasbangpan No: 25 Tahun 1999 tersebut tidak menyebutkan perbedaan job discription dan hanya membedakan golongan kepangkatan saja, seperti PM Ahli (III/a – III/b), PB Muda (III/c – III/d) dan PB Madya (IV/a – IV/c). Suatu misal mungkin BP-PNFI membuat suatu rancangan model dan menjadi rujukan untuk diterapkan oleh SKB. Hal ini bukan berarti model yang diterapkan oleh BP-PNFI cocok dengan SKB yang ada di daerah, sebab kondisi di daerah belum tentu sama dengan di Surabaya. Disamping itu keadaan tersebut akan memacung kreativitas PB di SKB dalam pengembangan model. Sehingga solusinya menurut penulis, PB SKB dapat menerapkan pengembangan model dari BP-PNFI tetapi PB SKB juga dapat membuat pengembangan model sendiri yang sesuai dengan karakteristik peserta didik di daerah masing – masing.
Dari data tabel diatas terlihat jelas bagaimana pengalokasian beban jam kerja yang dituangkan kedalam butir – butir kegiatan seorang Pamong Belajar pada setiap tupoksi dan kompetensi yang sedang dilaksanakan. Beban jam kerja tersebut tentulah dalam batas minimal, artinya seorang Pamong Belajar mempunyai beban jam kerja sebesar 24 jam/minggu ( 6 jam/hari ) dengan butir –butir kegiatan seperti diatas dan penerapan jam kerja itu dilaksanakan sesuai dengan prioritas jenis program PNF yang sedang berjalan dan bersifat fleksibel.
Suatu misal (seperti contoh diatas tadi) seorang PB sedang melaksanakan identifikasi kebutuhan belajar pada calon tutor atau peserta didik pada progam kesetaraan. Ternyata calon peserta tersebut di siang hari bekerja, sehingga mau tidak mau PB melaksanakannya di sore / malam hari (misal selama 3 jam). Otomatis beban jam kerjanya besok sudah dikurangi dengan kegiatan identifikasi kemarin (malam harinya), sehingga keesokan harinya PB tersebut dapat memulai masuk pada jam 9 dan pulang jam 13.00 atau lebih tergantung selesainya tugas – tugas yang lain pada hari itu.
Jadi dapat asumsikan 3 jam (identifikasi malam hari) + 4 jam ( proses KBM / besoknya dari jam 9.00 sampai jam 13.00) = sehingga total 7 jam/hari. Ini adalah batas maksimal, sehingga polanya identik seperti guru pada Pendidikan Formal (SD, SMP, SMU), dimana setelah selesai mengajar / membimbing / memotivasi / evalusi / pemantau
an (proses kegiatan KBM), PB dapat langsung pulang dan tidak perlu menunggu sampai jam kantor selesai. Sebab SKB itu pada dasarnya merupakan lembaga Pendidikan Non Formal (seperti sekolah) dan bukan bersifat seperti kantor – kantor Dinas atau Pemda.
Dengan demikian diharapkan ke depan Pamong Belajar sudah memiliki patokan atau standarisasi beban jam kerja secara nasional, sehingga tidak akan terjadi lagi penentuan beban jam kerja berdasarkan jam kerja struktural yaitu full time dan harus stanby di kantor dari 07.00 – 15.30 (kecuali staf TU). Dan jujur saja, Pemda, Dinas Pendidikan Kab/Kota, Cabang Dinas Pendidikan atau Sekolah Formal sendiri, pada jam 14.00 siang semua pegawai, guru, murid telah pulang, kecuali pegawai tertentu yang memiliki tugas lemburan atau murid yang mengikuti ekstrakerikuler. Semua ini dapat diterapkan bila konsep tersebut dapat dituangkan minimal ke dalam SK Menteri atau PP yang mengatur hal tersebut. Jadi menurut penulis tidaklah salah bila program kegiatan Pendidikan Non Formal (khususnya SKB) dalam implementasinya / pelaksanaannya, harus memiliki spirit seperti Pendidikan Formal (sekolah), sehingga perkembangan SKB ke depan dapat disejajarkan / disetarakan dengan Pendidikan Formal.
Untuk mencapai kondisi tersebut (spirit formal / sekolah), menurut penulis disamping politikal will dari pemerintah dalam bentuk Kepmen atau PP, yang juga tak kalah pentingnya adalah :
1. Perlunya top leader (SKB) yang memiliki wawasan, visi dan misi sebagai seorang berjiwa pendidik (seperti guru, pamong belajar atau dosen), dimana tidak hanya mampu mengejar dana (APBN/APBD), tapi juga mampu membawa SKB sebagai lembaga tempat mencari ilmu dan ketrampilan serta mampu mencerdaskan peserta didik.
2. Adanya sistem rotasi pada segmentasi top leadernya, sehingga akan membawa penyegaran pada lembaga SKB. Bila perlu antar lembaga SKB (tapi terkendala oleh status pegawai daerah) atau antara lembaga PNF (SKB) dengan lembaga PF (SD, SMP, SMU).
3. Selain itu juga perlu dilakukan penggantian penamaan lembaga SKB, yang semula bernama Sanggar Kegiatan Belajar menjadi nama yang lebih mencerminkan sebagai tempat untuk menimba ilmu pengetahuan dan ketrampilan dan tidak sekedar tempat untuk belajar (Sanggar). Kata – kata sanggar menurut penulis terlalu inklusif dan seolah – olah cakupan kegiatannya berskala kecil. Padahal area kerja Pamong Belajar sendiri yang rata-rata berjumlah kurang dari 20 orang ini adalah seluruh wilayah Kabupaten / Kota dimana SKB itu berada.
KEUNTUNGAN ADANYA SERTIFIKASI PAMONG BELAJAR
Jika benar – benar Standarisasi / Pagu beban jam kerja Pamong Belajar telah tertuang ke dalam Kepmen atau PP, maka otomatis pelaksanaan Sertifikasi Pamong Belajar dapat berjalan sesuai dengan harapan. Kondisi tersebut akan berdampak pula pada perubahan Juklak / Juknis tentang Jabatan Fungsional Pamong Belajar dan Angka Kreditnya. Sehingga keuntungan yang diperoleh Pamong Belajar antara lain :
1. Adanya peningkatan kesejahteraan Pamong Belajar.
2. Adanya penghargaan terhadap profesi (harkat – martabat) sebagai seorang pamong belajar.
3. Profesi pamong belajar akan lebih dikenal dan sejajar dengan profesi pendidik lainnya.
4. Memacu pamong belajar untuk terus kreatif, mengkaji dan belajar, karena mereka telah diberi beban jam kerja (mengajar/membimbing), sehingga PB tidak hanya berkutat pada pengadministrasian dan pengelolaan program saja, akan tetapi ikut terlibat sebagai pengajar / NST dalam proses KBMnya.
5. Mengefisienkan pengumpulan bukti fisik bagi PB yang akan mengajukan PAKnya (Penilaian Angka Kredit) untuk proses kenaikan pangkat. Dimana bukti fisik cukup dengan SK Kepanitiaan dan SK Mengajar/Membimbing yang inklude di dalamnya telah tertera jam mengajar/membimbing , jenis progam serta materi yang akan diajarkannya.
Namun demikian, perlu juga pemikiran untuk memisahkan jenis program yang kontinyu seperti Block Grant dan Kesetaraan (paket A, B, C) yang telah jelas ada setiap tahunnya dari BPPNFI, dengan program yang bersifat insindental seperti program titipan/pesanan (APBD), voucher dan lain-lain dengan jangka waktu < dari 3 bulan saja. Program – program insidental ini ternyata sangat menguras tenaga dan pikiran serta beban jam kerjanya tidak jelas dan tidak berstandar, karena PB sewaktu – waktu dapat diperlukan untuk mengatasi persoalan dan seringkali mengandung misi / muatan di luar aspek kependidikan pada program tersebut. Sehingga seringkali keberadaan program – program tersebut mengganggu program – program kontinyu yang telah berjalan terlebih dahulu.
Kebijakan pada program – program insidental ini tentunya harus melihat kemampuan, kesempatan serta situasi - kondisi lembaga SKB sendiri, baik pamong belajarnya maupun program – program yang telah berjalan. Apabila misi yang ada dalam program insidental tersebut hanya untuk kepentingan di luar kependidikan, maka memang seyogyanya tidak harus diterima, karena pada akhirnya akan mempersulit berbagai pihak dan terbengkalainya program – program lain yang telah berjalan.
P E N U T U P
Adanya rencana / wacana sertifikasi Pamong Belajar akan membawa dampak yang positif bagi kinerja Pamong Belajar yaitu untuk peningkatan profesionalitas dan martabat PB, perlindungan / advokasi profesi PB, serta peningkatan kesejahteraan PB. Akan tetapi sebelum pelaksanaan sertifikasi diberlakukan, maka pembakuan atau standarisasi Konsep Jam Kerja Pamong Belajar adalah hal yang mutlak dan mendesak untuk dipenuhi terlebih dahulu disamping pembenahan pada sektor payung hukumnya. Sehingga kedepan tidak akan timbul persoalan yang dapat membawa stagnasi pada draf usulan Kepmen dan bahkan akan terjadi kegagalan pelaksanaan sertifikasi itu sendiri.
Jika program sertifikasi Pamong Belajar ini dapat terlaksana yaitu dengan diterbitkannya Kepmen atau PP yang baru, maka efeknya disamping memberi keuntungan bagi pamong belajar sendiri, juga berimbas pada aspek sosialisasi yang didapat yaitu minimal penentu kebijakan di daerah (Bupati/ Walikota) akan lebih mengenal lembaga UPT SKB dan khususnya keberadaan Pamong Belajar. Sehingga diharapkan akan membawa angin segar bagi eksistensi Pamong Belajar sebagai pegawai fungsional pada pendidikan non formal.
Akhirnya semoga tulisan yang sederhana ini dapat menginspirasi kepada tim sertifikasi pusat bagi Pamong Belajar ataupun penentu kebijakan di Departemen Pendidikan Nasional pusat maupun propinsi. Dan tak lupa pula penulis sangat menghargai.adanya tanggapan dari pembaca khususnya rekan Pamong Belajar se Regional 4 ataupun dari para pemerhati Pendidikan Non Formal.
DAFTAR PUSTAKA
Keputusan MENKOWASBANGPAN Nomor : 25/KEP/MK.WASPAN/6/1999 tentang Jabatan Fungsional Pamong Belajar dan Angka Kreditnya.
PP RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), Cemerlang, Jakarta
Undang Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tantang Sistem Pendidikan Nasional, Cemerlang, Jakarta
PROFIL PENULIS
Nama : ACHMAD TAUFIK
Unit Kerja : UPTD SKB KABUPATEN PONOROGO
Jabatan Organ. Profesi : Ketua FPBI Kabupaten Ponorogo
Email : MASGUSFIK@YMAIL.COM
Selama menjadi PB telah membentuk al :
1. Program Kejar Paket A di Ds. Dayakan Kec. Badekan Tahun 2004 (Ketua)
2. Program Kejar Paket B di Ds. Sawuh Kec. Siman Tahun 2004 (Ketua)
3. Program KF di Ds. Kemuning, Kec. Sambit Tahun 2005 (Sekretaris)
4. Membentuk lembaga PKBM Budi Luhur di Ds. Sawuh Kec. Siman Tahun 2004 (Ketua).
5. Program Blok Grant al :
a. Ketua Diklat Agribisnis Ayam Potong Tahun 2002
b. Anggota Diklat Otomotif Sepeda Motor Tahun 2003 dan 2004
c. Anggota Block Grant PTK – PNF TAHUN 2006, 2007
6. Program PAUD Adinda di Ds. Kertosari, Kec. Babadan Tahun 2006 (Sekretaris)
7. Program TBM Tahun 2007 (sekretaris)
8. Program Life Skill Sapi Perah Tahun 2007 (Sekretaris)
9. Program Kejar Paket C kelas Berjalan 2007-2009 (anggota)
10. Program Block Grant PTK – PNF TAHUN 2008 (Sie Program & Perncanaan)
11. Program TBM 2008 (Ketua)
12. Program SKB Pembina 2008 (Sekretaris)
13. Program KUPP (Sekretaris)
14. Program SIM PNFI 2009 – sekarang (Ketua)
Langganan:
Postingan (Atom)